Ketika Negara Bikin Susah Rakyat: Rekening Diblokir, Tanah Nganggur Disita!

RMBANTEN.COM - NEGARA ini seperti sedang rajin sekali menertibkan yang kecil-kecil. Setelah rakyat disuruh bayar pajak digital, pajak warisan, dan dipaksa pindah ke IKN, kini giliran rekening bank ‘nganggur’ diblokir dan tanah milik rakyat disita karena dianggap tak produktif.
Saya ulangi: rekening bank diblokir, tanah disita. Apa lagi?
Kebijakan ini tentu dibungkus niat baik: mencegah pencucian uang dan menyelamatkan fungsi tanah untuk kepentingan bangsa. Tapi sayangnya, realitas di lapangan jauh lebih kompleks daripada sekadar semangat pasal-pasal. Dalam praktiknya, rakyat kecil lagi-lagi jadi korban.
Rekening Dibekukan, Siapa yang Dirugikan?
Menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), rekening yang tidak ada aktivitas selama tiga bulan akan dibekukan sementara. Betul, katanya uang tetap aman.
Tapi apakah kita lupa bahwa banyak rekening pasif justru milik orang tua di kampung, ibu rumah tangga, atau pekerja informal yang baru bisa menabung sesekali?
Kalau tujuannya menertibkan sindikat jual-beli rekening, kenapa yang disapu bersih justru semuanya, tanpa pemisahan yang jelas?
Alih-alih menyisir pelaku kejahatan digital, aturan ini berisiko membuat masyarakat tidak percaya lagi pada perbankan nasional. Ujung-ujungnya, orang akan lebih memilih menyimpan uang di bawah bantal atau pakai dompet digital asing. Bukankah itu kontraproduktif?
Tanah Nganggur Disita, Siapa yang Untung?
Lahan tak produktif selama dua tahun akan dianggap tanah terlantar dan berpotensi disita negara. Katanya sih hanya berlaku bagi pemilik Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Guna Bangunan (HGB), terutama perusahaan. Tapi faktanya, narasi ini membingungkan warga pemilik tanah biasa.
Apa benar negara bisa seenaknya mengklaim tanah milik rakyat dengan alasan “tidak digunakan”? Lalu siapa yang menentukan ‘fungsi sosial’? Bagaimana jika seseorang memang belum mampu mengolah lahannya karena biaya pupuk mahal atau akses air terbatas?
Ini tidak adil. Jika negara ingin lahan produktif, kenapa tidak bantu rakyat dengan irigasi, subsidi pupuk, atau pelatihan tani modern?
Negara Harus Mendengar, Bukan Menghukum
Rakyat bukan objek kebijakan. Mereka adalah subjek demokrasi. Mereka punya hak atas pengelolaan harta dan tanahnya. Ketika negara justru membatasi, membekukan, dan mengancam aset milik rakyat, kita harus bertanya: siapa sebenarnya yang dilayani oleh kebijakan ini?
Bukan tidak boleh menertibkan. Tapi cara, waktu, dan empatinya harus benar. Negara jangan memukul semua kepala demi mencari satu pencuri. Apalagi jika yang dipukul adalah rakyat kecil, sementara mafia tanah dan penyimpan dana jumbo di luar negeri tetap bebas merdeka.
Rakyat Perlu Kepastian, Bukan Ketakutan
Kebijakan ekonomi seharusnya memberi kepastian hukum, keadilan distribusi, dan rasa aman bagi seluruh rakyat. Bukan malah menimbulkan ketakutan kolektif atas harta dan tanah sendiri.
Apakah kita masih percaya pada negara yang katanya melindungi segenap tumpah darah Indonesia, jika rekening bisa dibekukan dan tanah bisa disita tanpa perlindungan maksimal terhadap rakyat?
Jika benar negara hadir untuk rakyat, maka dengarkanlah mereka—bukan justru bikin hidup mereka makin susah.
Penulis: Pimred Raja Media, Ketua DPP PJS, Wakil Bendahara Umum IKALUIN Jakarta*
Gaya Hirup 4 hari yang lalu

Patandang | 5 hari yang lalu
Pulitik Jero | 4 hari yang lalu
Pulitik Jero | 3 hari yang lalu
Nagara | 4 hari yang lalu
Pendidikan | 4 hari yang lalu
Pulitik Jero | 3 hari yang lalu
Pulitik Jero | 6 hari yang lalu
Warta Banten | 4 hari yang lalu
Warta Banten | 5 hari yang lalu