Warta Banten

Pulitik Jero

Parlemen

Hukum

Ékobis

Peristiwa

Kaamanan

Nagara

Patandang

Mancanagara

Pamenteun

Galeri

Gaya Hirup

Kabudayaan

Pendidikan

Kaséhatan

Calon Dewan

Info haji

Indeks

Refleksi Kritis Seperempat Abad Provinsi Banten

Oleh: Eko Supriatno
Sabtu, 04 Oktober 2025 | 13:12 WIB
Eko Supriatno -
Eko Supriatno -

RMBANTEN.COM - SEPEREMPAT abad bukan sekadar angka. Ia adalah jejak waktu yang menuntut kita berhenti sejenak, menoleh ke belakang, dan menimbang setiap langkah yang telah diambil. 

 

HUT ke-25 Provinsi Banten bukan hanya momen seremonial yang elok di kalender politik dan sosial; ia adalah cermin historis, refleksi mendalam atas perjalanan yang menembus ruang dan waktu, menyentuh bumi dan langit budaya, iman, dan peradaban.


Di tengah gemerlap pembangunan fisik dan statistik kemajuan, tersimpan pertanyaan mendasar: sejauh mana janji-janji masa lalu diterjemahkan menjadi kehidupan sehari-hari masyarakat Banten?


Peringatan ini membuka panggung untuk menimbang nilai-nilai yang diwariskan para pendiri Banten — keimanan, kepemimpinan bijak, dan cinta tulus pada rakyat.


Ziarah Gubernur ke Banten Lama bukan sekadar ritual; ia adalah pengingat bahwa pembangunan yang abadi lahir dari penghormatan terhadap akar sejarah. Nilai luhur itu, bila dihidupkan, mampu menghidupkan bukan hanya infrastruktur, tetapi juga karakter, moral, dan integritas sosial yang sejati.


Namun, refleksi ini harus jujur dan tajam. Sinergi antara pemerintah, Kesultanan, dan Kenadziran Banten menegaskan bahwa pembangunan tidak bisa berdiri sendiri.


Ia memerlukan kolaborasi, akal sehat, dan hati nurani. Revitalisasi Banten Lama bukan sekadar pelestarian cagar budaya; ia adalah upaya menjadikan sejarah sebagai guru, sekaligus katalisator ekonomi, pendidikan, dan budaya.


Di sini, masa lalu bertemu masa kini, dan dari pertemuan itu lahir harapan masa depan yang berkelanjutan.


Dalam bingkai ini, bantuan sosial, perbaikan infrastruktur, dan dukungan terhadap pesantren adalah bukti nyata bahwa pemerataan bukan sekadar jargon birokrasi.


Ia adalah komitmen moral, janji politik, dan tanggung jawab sosial yang menegaskan bahwa pembangunan bukan hanya untuk angka statistik, tetapi untuk manusia seutuhnya.


Fase usia 25 tahun adalah fase produktif untuk menorehkan perubahan signifikan — perubahan yang menyentuh setiap lapisan masyarakat, memberi makna pada setiap doa dan usaha, dan menyalakan optimisme yang bukan sekadar retorika.


Refleksi kritis bukan untuk menunda aksi, tetapi memperkuat pijakan. Banten tidak hanya dibangun dari beton dan aspal, tapi dari kesadaran, kebijaksanaan, dan keberanian untuk berubah tanpa meninggalkan akar.


Seperempat abad perjalanan mengajarkan bahwa kemajuan sejati lahir dari keseimbangan antara sejarah, budaya, iman, dan modernitas — sebuah perjalanan yang menuntut keberanian, ketajaman berpikir, dan ketulusan hati.


Banten kini menatap masa depan. Mari refleksi ini menjadi lampu penerang, bukan sekadar lilin seremonial. Mari jadikan usia 25 tahun ini awal dari perjalanan yang lebih berani, inklusif, dan bermakna — perjalanan yang membumikan harapan, memuliakan sejarah, dan meneguhkan peradaban.


Janji Infrastruktur


Seratus hari kepemimpinan Andra Soni–Dimyati menampilkan parade janji dan angka: Bang Andra dan Jalan Usaha Tani (JUT) hendak membangun jalan desa dan menjamin surplus beras 242.108 ton. Tapi jangan tertipu, ini bukan sekadar pembangunan fisik, ini juga ujian seni akrobatik birokrasi.


Dana mengalir, beton menumpuk, namun rakyat masih bertanya: apakah jalan ini benar-benar menghubungkan desa-desa atau hanya menghubungkan kantong-kantong proyek ke laporan WTP?


Di satu sisi, angka dan target terlihat megah, mempesona mata auditor dan aparat, seolah setiap lembar laporan adalah medali penghargaan bagi kepemimpinan cemerlang.


Di sisi lain, jalan yang teraspal belum tentu merentang ke sekolah, pasar, atau fasilitas kesehatan yang dibutuhkan rakyat; surplus beras di gudang belum tentu sampai ke meja makan keluarga petani. Infrastruktur boleh megah di laporan, tapi rasa kenyang dan lancarnya hidup rakyat tetap tergantung pada pengawasan yang nyaris mitos — lembaga imajiner yang hadir hanya di pidato resmi dan catatan birokrasi.


Inilah ironi yang membumi: pembangunan yang tercatat rapi di dashboard digital bisa menjadi lukisan indah di dinding kantor, tapi bagi warga yang meniti jalan berlubang, menunggu distribusi pangan, dan menatap laporan tanpa mengerti angka-angka itu, prestasi itu terasa jauh, abstrak, dan kadang menggelikan.


Dalam setiap butir beton dan kilogram beras, tersimpan pertanyaan filosofis: apakah pembangunan hanya akumulasi proyek dan statistik, atau perjalanan yang benar-benar mengubah kualitas hidup masyarakat? Kepemimpinan Andra–Dimyati sejauh ini menorehkan catatan awal yang menjanjikan, namun ujian sesungguhnya adalah ketika janji itu meresap ke desa-desa, ke meja makan, dan ke hati rakyat yang menunggu.


Kesejahteraan di Kertas


Pada Maret 2025, angka kemiskinan di Provinsi Banten tercatat sebesar 5,63%, menurun dari 5,70% pada September 2024. Penurunan ini didorong oleh pengendalian inflasi, pertumbuhan konsumsi rumah tangga, dan perkembangan positif industri pengolahan menurut data Badan Pusat Statistik Provinsi Banten.


Namun, di balik penurunan angka kemiskinan tersebut, terdapat tantangan serius: pada April 2025, Banten menjadi salah satu penyumbang terbesar kemiskinan ekstrem di Indonesia, menempati urutan kedelapan secara nasional dengan 3,73% atau sekitar 118.241 jiwa penduduk miskin ekstrem di wilayah ini.


Data ini menunjukkan bahwa meskipun angka kemiskinan secara umum menurun, masalah kemiskinan ekstrem tetap menjadi isu utama yang perlu perhatian serius. Hal ini mengingatkan kita bahwa statistik yang tampak baik di permukaan tidak selalu mencerminkan pengalaman nyata masyarakat di lapangan.


Kesejahteraan sejati tidak hanya diukur dari penurunan angka kemiskinan, tetapi juga dari upaya konkret untuk mengatasi kemiskinan ekstrem. Pemerintah perlu fokus pada program-program yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin ekstrem, seperti peningkatan akses pendidikan, layanan kesehatan, dan penyediaan lapangan pekerjaan yang layak.


Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sangat penting dalam menciptakan solusi yang berkelanjutan.


Dengan demikian, meskipun terdapat penurunan angka kemiskinan, tantangan besar dalam mengatasi kemiskinan ekstrem masih memerlukan perhatian dan tindakan nyata dari semua pihak.


Renovasi 250 RTLH, sekolah gratis, paket sembako, dan santri tahfidz: semua terdengar seperti simfoni kesejahteraan. Tapi jangan terbawa irama. Sekali lagi, simfoni ini kadang berbunyi di ruang rapat, bukan di dapur warga.


Angka dan program itu gemilang di atas kertas, memikat mata pejabat dan media, tetapi di desa terpencil, gema kesejahteraan terdengar samar dan tak tersentuh.


Pemerataan — kata manis di atas kertas — sering menjadi mantra tanpa jejak nyata. Bantuan yang tercatat di Excel atau dashboard digital bukan jaminan seorang ibu akan menatap rumah barunya dengan lega, seorang anak akan belajar nyaman, atau santri merasakan keberkahan paket sembako.


Kesejahteraan sejati bukan hanya jumlah rumah direnovasi atau nominal bantuan, tapi rasa aman, sehat, dan didengar setiap hari.


Program bisa lengkap, dana tercatat rapi, laporan memuaskan auditor, tapi hidup rakyat tetap berada di ruang berbeda — ruang yang tidak bisa diraih hanya dengan kebijakan formal dan statistik cemerlang.


Kesejahteraan menjadi simbol, bukan substansi; mengundang tepuk tangan resmi, tapi tidak menyentuh hati rakyat. Tanpa keberanian untuk melihat, mendengar, dan menyentuh realitas, semua tetap simfoni kosong.


Transparansi Hanya Angka


WTP kesembilan, investasi Rp31,1 triliun, kerja sama dengan KPK dan BPKP — angka-angka ini membuat kepala pusing dan hati hangat di ruang rapat.


Tapi di lorong desa yang sunyi, masyarakat sering hanya menatap laporan yang sulit dimengerti, bertanya-tanya: apakah ini benar-benar mereka, atau sekadar angka yang menari di ruang rapat?


Reformasi birokrasi dan digitalisasi pelayanan publik terasa seperti janji politikus di panggung: megah di pidato, indah di powerpoint, tapi tipis di tangan rakyat. Pelayanan cepat, proses transparan, keluhan segera ditindak — semuanya seolah menjadi mitos modern, sulit disentuh langsung.


Transparansi sejati harus disentuh, dimengerti, dan dirasakan setiap warga; hadir di meja makan, ruang tunggu puskesmas, sekolah desa, atau jalan berlubang yang menjadi jalur kehidupan.


Tanpa itu, semua pencapaian tetap retorika indah yang tidak menyentuh kehidupan sehari-hari.


Harapan Tertunda


Banten usia 25 tahun menuntut gebrakan nyata. Ziarah ke Banten Lama dan penghormatan pendiri memberi legitimasi moral, tapi pembangunan bukan sekadar ritual doa atau selfie sejarah.


Harapan berkelanjutan harus diwujudkan melalui program nyata, bukan angka cantik atau pidato memukau. 
Infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat harus memberi dampak langsung, bukan sekadar menghiasi laporan keuangan.


Seperempat abad Banten adalah cerita tentang ambisi dan janji. Statistik rapi, ritual sejarah mengharukan, tapi jika hati rakyat tidak disentuh, semua menjadi gema kosong di ruang rapat.


Kini saatnya, bukan hanya menulis angka di tiktok, tapi menyalakan optimisme yang bermimpi, adil, merata, dan berkelanjutan. Jika tidak, Banten akan terus menua dengan janji cantik, tapi perut rakyat tetap menunggu. Tantangan sekaligus peluang: membumikan janji, menyalakan harapan nyata, dan menulis ulang narasi pembangunan dengan tinta rakyat, bukan birokrasi.


Pembangunan sejati bukan soal laporan rapi atau gelar WTP, tapi ketika rakyat merasakan keadilan, melihat pemerataan, dan tersenyum karena hidup mereka benar-benar berubah.


Inilah pesan kritis penulis: jangan biarkan seperempat abad menjadi sejarah janji indah, sementara batin rakyat masih tetap menunggu.

    
Tentang Penulis: Eko Supriatno, Mahasiswa program Doktoral (S3) Ilmu Administrasi Publik di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dan Peneliti pada Badan Riset dan Inovasi Mathla’ul Anwar (BRIMA).rajamedia

Komentar:
BERITA LAINNYA