Warta Banten

Pulitik Jero

Parlemen

Hukum

Ékobis

Peristiwa

Kaamanan

Nagara

Patandang

Mancanagara

Pamenteun

Galeri

Gaya Hirup

Kabudayaan

Pendidikan

Kaséhatan

Calon Dewan

Info haji

Indeks

Terlantar Tanpa Ayah

Oleh: Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
Jumat, 14 November 2025 | 10:01 WIB
Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.

RMBANTEN.COM - NEGARA kerap kita bayangkan sebagai ibu yang memeluk seluruh rakyatnya, sementara pemerintah hadir sebagai ayah yang membimbing dan melindungi. Rabu lalu, ketika tanggal 12 November tiba, saya menerima ucapan “Selamat Hari Ayah” dari putri-putri saya, Shofia dan Alma. 

 

Saya tersenyum, bahkan sedikit terkejut, sebab perayaan Hari Ayah bukan sesuatu yang akrab bagi saya. Namun dari sapaan kecil itu, saya justru diam-diam merenungi pesan Surat Al-Ma’un—tentang perhatian kepada yatim dan anak terlantar—serta tiga kata kunci yang saya bincangkan dalam esai ini: yatim, fatherless, dan father hunger.


Dalam kerangka kebapakan negara tersebut, anak-anak yang tumbuh tanpa ayah—baik karena wafat, pergi, maupun karena hadir tanpa benar-benar hadir—seharusnya tidak berjalan sendirian. Konstitusi kita telah memberikan amanah yang tegas melalui Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Ini bukan sekadar rumusan hukum, tetapi janji moral untuk memastikan bahwa negara tidak menutup mata terhadap kerentanan warganya.


Istilah “yatim” selama ini kita pahami sebagai anak yang ayahnya telah tiada. Namun kehidupan modern menampilkan bentuk kehilangan yang lebih sunyi. Ada anak-anak yang fatherless, ketika ayah ada tetapi terputus secara peran; dan ada pula yang mengalami father hunger, yaitu kelaparan emosional karena ayah hadir tanpa kehadiran batin. Mereka tampak utuh, tetapi dunia batinnya sering keropos.


Dalam kondisi seperti ini, negara sebagai “ibu” dan pemerintah sebagai “ayah” seharusnya hadir sebagai penopang kedua. Jika figur ayah hilang dari lingkar keluarga, maka negara tidak boleh hilang dari lingkar warganya. Amanat Pasal 34 sebetulnya berbicara tidak hanya tentang kemiskinan material, tetapi juga keterlantaran psikologis dan sosial yang dapat merusak masa depan seorang anak.


Wujud kehadiran negara itu terlihat dalam berbagai langkah pemulihan yang memberi rasa keadilan. Pada Kamis, 13 November 2025, dua guru asal Kabupaten Luwu Utara—Drs. Abdul Moeis dan Drs. Rasnal, M.Pd—menerima surat rehabilitasi langsung dari Presiden Prabowo Subianto. Pemulihan itu bukan hanya pengembalian nama baik, tetapi juga penegasan bahwa negara hadir ketika warganya memerlukan perlindungan. Ini contoh bahwa pemerintah bisa memainkan peran ayah yang meluruskan ketidakadilan.


Namun di sisi lain, kita menyaksikan wajah keterlantaran yang lebih kompleks. Kasus ledakan bom yang melibatkan seorang siswa SMAN 72 Jakarta menunjukkan betapa rentannya remaja yang tercerabut dari pengasuhan sosial-spiritual. Ia bukan hanya pelaku, tetapi juga korban dari kekosongan makna, kehilangan arah, dan akses terbatas pada bimbingan emosional. Ini potret ekstrem dari father hunger yang berkembang tanpa intervensi.


Di titik itu, peran masyarakat menjadi sangat penting. Sekolah, masjid, keluarga besar, dan jejaring komunitas harus dapat menjadi rumah kedua bagi anak-anak yang rapuh secara emosional. Luka father hunger tak selalu tampak; ia kerap tersembunyi dalam diam, lalu tiba-tiba meledak ketika tidak tertangani. Masyarakat harus mampu menangkap isyarat sebelum kegelisahan berubah menjadi tragedi.


Sebagai ayah dan pendidik, saya makin memahami bahwa peran ayah tidak dapat disubstitusi oleh materi semata. Anak membutuhkan perhatian, ruang curhat, dan sentuhan yang meneguhkan harga dirinya. Ayah yang hadir batin bagi anak akan menanamkan keberanian, keteguhan, dan rasa aman yang tidak bisa diberikan oleh uang berapa pun.


Karena itu, peringatan Hari Ayah sepatutnya menjadi cermin kolektif. Sudahkah kita benar-benar hadir bagi anak-anak kita? Dan lebih luas lagi: sudahkah negara dan pemerintah menjalankan peran kebapakan bagi seluruh warganya? Kita tidak bisa membiarkan anak-anak tumbuh ditemani layar, tetapi kehilangan figur yang menuntun.


Refleksi ini menuntut kebijakan yang lebih menyentuh kebutuhan riil anak dan remaja Indonesia. Penguatan layanan kesehatan mental, perlindungan anak yatim, dukungan bagi keluarga tunggal, dan ruang aman bagi remaja merupakan bagian penting dari pemenuhan amanat konstitusi. Negara hadir bukan hanya lewat pembangunan fisik, tetapi lewat kehadiran sosial yang memberi arah.


Pada akhirnya, setiap ucapan “Selamat Hari Ayah” mengingatkan kita bahwa figur ayah adalah salah satu pilar pembentuk rasa aman. Dan bagi anak-anak yang tidak lagi memiliki ayah, atau yang kehilangan figur itu secara emosional, negara dan masyarakat harus memastikan mereka tidak tumbuh dalam kesepian yang berbahaya.


Semoga kita menjadi bangsa yang tidak membiarkan anak-anak tumbuh sendirian. Semoga negara tetap menjadi rahim yang memelihara, dan pemerintah menjadi ayah yang membimbing. Agar tak ada lagi anak Indonesia yang terlantar—baik raganya maupun jiwanya.


Penulis: Dekan FKIP Untirta Bantenrajamedia

Komentar: