PPP Pecah Lagi, Luka Lama Terulang Kembali!

RMBANTEN.COM - PARTAI Persatuan Pembangunan (PPP) kembali menorehkan babak getir dalam sejarah panjangnya. Muktamar ke-10 yang seharusnya menjadi momentum konsolidasi justru menyingkap luka lama: konflik internal, perebutan kursi ketua umum, hingga kericuhan fisik yang mencoreng wajah partai berlambang Ka’bah itu.
Sejarah Panjang PPP
PPP lahir pada 5 Januari 1973 sebagai hasil fusi empat partai Islam: Partai Nahdlatul Ulama (NU), Parmusi, Perti, dan PSII. Fusi ini digagas oleh pemerintah Orde Baru dengan alasan penyederhanaan partai. Namun, di balik itu, PPP menjadi simbol politik Islam yang menyatukan berbagai aspirasi umat di bawah satu payung besar.
Pada masa keemasan, terutama era Orde Baru, PPP pernah menjadi kekuatan politik utama yang menjadi satu-satunya oposisi dominan terhadap Golkar. PPP identik dengan perlawanan, terutama saat NU dan tokoh-tokoh karismatiknya masih aktif di dalamnya. Puncaknya, pada Pemilu 1977 dan 1982, PPP berhasil menjadi partai terbesar kedua setelah Golkar, dengan perolehan suara nasional di atas 25%.

Namun, kepergian NU pada 1984, intervensi pemerintah, hingga fragmentasi elit internal, membuat posisi PPP kian melemah. Reformasi 1998 membuka ruang demokrasi, tapi justru memperlihatkan rapuhnya persatuan. PPP tak pernah benar-benar pulih dari luka itu.
Luka yang Tak Kunjung Sembuh
Sejak reformasi, PPP berkali-kali terjebak dalam dualisme kepengurusan. Nama-nama seperti Hamzah Haz, Surya Dharma Ali, Djan Faridz, Romahurmuziy, Himphrey Djemat hingga Suharso Monoarfa pernah terseret dalam dinamika perebutan legitimasi. Kini, giliran Mardiono dan Agus Suparmanto yang sama-sama mengklaim sebagai ketua umum sah.
Seakan partai ini tak belajar dari sejarahnya sendiri. Luka lama yang belum tuntas kini kembali menganga, membuat kader dan konstituen di akar rumput semakin bingung.
Politik Kursi, Bukan Gagasan
Yang paling menyedihkan, konflik itu tidak lahir dari perbedaan visi besar, melainkan dari perebutan kursi. PPP yang seharusnya bicara soal gagasan politik Islam moderat, soal peran umat dalam demokrasi, justru terjebak dalam drama siapa yang berhak duduk di kursi ketua umum.
Muktamar yang idealnya jadi ruang musyawarah, malah jadi ajang adu otot dan perebutan dukungan DPW. Kericuhan hingga jatuh korban luka, memperlihatkan betapa rapuhnya fondasi persatuan dalam partai yang mengusung nama “Persatuan” itu.
Dampak Elektoral
Pertanyaan besar kini muncul: bagaimana nasib PPP di tengah konflik ini? Elektabilitas PPP belakangan memang terus tergerus. Dalam Pemilu 2024 lalu, PPP gagal lolos senayan dengan angka tipis di ambang parliamentary threshold. Jika luka ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin PPP kehilangan relevansi politiknya pada pemilu berikutnya.
Umat yang menjadi basis utama PPP kini banyak beralih ke partai lain. PKB dengan strategi politiknya yang luwes, PAN dengan wajah barunya, bahkan partai-partai Islam baru, lebih mampu merebut simpati publik.
Jalan Keluar
PPP seharusnya belajar dari masa lalu. Setiap kali konflik dibiarkan, yang rugi bukan hanya elite, tapi seluruh kader hingga simpatisan. Jika elite PPP masih berkutat pada ego pribadi, partai ini hanya akan menjadi catatan sejarah tanpa masa depan.
Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk kembali pada akar: mengutamakan musyawarah, mendahulukan gagasan, dan menghidupkan politik nilai. Bukan politik kursi.
PPP lahir sebagai rumah besar umat Islam yang beragam. Ironis bila rumah itu justru retak karena penghuninya sibuk berebut kunci pintu. Luka lama kini benar-benar terulang. Pertanyaannya: apakah PPP masih punya tenaga untuk sembuh?
Wallahu A'lam.
Penulis: Ketua DPP Pro Journalismediasiber Indonesia, Pengurus Pusat IKALUIN Jakarta*
Warta Banten 5 hari yang lalu

Pulitik Jero | 3 hari yang lalu
Kaamanan | 5 hari yang lalu
Mancanagara | 5 hari yang lalu
Pulitik Jero | 1 hari yang lalu
Patandang | 2 hari yang lalu
Kaamanan | 6 hari yang lalu
Warta Banten | 6 hari yang lalu
Kaamanan | 4 hari yang lalu
Parlemen | 3 hari yang lalu