Ibunda Syekh Yasin: Perempuan Rawa di Kota Suci
(Bagian 2)

RMBANTEN.COM - TIDAK semua perempuan desa punya takdir untuk hidup di Kota Suci.
Tapi Hj. Emuk Maimunah—perempuan kelahiran Rawa Linggawangi, Leuwisari, Tasikmalaya—menjadi salah satunya.
Takdir membawanya jauh, dari tanah sawah di kaki Gunung Galunggung ke pelataran Masjidil Haram. Lebih dari delapan puluh persen hidupnya ia habiskan di Makkah.
Dari sanalah lahir putranya yang kelak menjadi ulama hadis kelas dunia: Syeikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani. Ulama yang oleh banyak orang disebut Musnid ad-Dunya karena menguasai sanad dari hampir semua disiplin ilmu Islam. Baca: Keturunan Rawa di Tanah Haram, Syekh Muhammad Yasin
Tapi kisahnya tak sesederhana “ibu dari ulama besar”. Hj. Emuk adalah saksi zaman. Perempuan desa yang kuat mental, tabah hati, dan teguh memegang agama.
Dua Anak, Satu Rahim, Dua Dunia
Satu hal yang paling saya ingat dari cerita Mbu—sebutan untuk kakak ibu saya—adalah bahwa Eyang Emuk pernah meninggalkan bayi yang masih menyusu demi berangkat ke tanah suci.

Hj Tien Rahmatin dan almarhum Hj Tiah Sutianah cucu satu dari Syeikh Yasin - Istimewa -
Bayi itu adalah H. Basuni Abdul Jabbar, ayah Mbu saya Hj. Tien Rahmatin dan almarhum ibu saya Hj. Tiah Sutianah.
Ya, Haji Basuni adalah kakek saya.
Setelah melahirkan H. Basuni, Hj. Emuk berpisah (bercerai) dari suaminya Ajengan Qizwini—ulama pemimpin Pesantren Rawa Girang dan dan Pesantren Cikandongdong (sekarang Pesantren Asyaffah), di Kalieng Girang, Rawa Linggawangi, Singaparna Tasikmalaya.
Bayi yang masih merah itu kemudian diasuh dan disusui oleh Mbok Sinah.
Mbok Sinah sendiri menurut Mbu Hj.Tien sosok perempuan berhati emas. Dengan kekurangannya (tampak daksa/cacat), Mbok Sinah menyusui H. Basuni - yang kelak menjadi kaka Syeikh Yasin.
Nenek —begitu Mbu Tien memanggil Hj. Emuk—tak pernah kembali ke tanah air. Tak pernah menoleh ke belakang.
Di Makkah, takdir mempertemukannya dengan seorang duda alim asal Padang Pariaman, Syeikh Muhammad Isa al-Fadani.
_1754705580.jpg)
Syeikh Muhammad Yasin (tangkapan layar) - Repro -
Dari pernikahan inilah lahir seorang anak lelaki yang kelak menggemparkan dunia keilmuan Islam: Syeikh Muhammad Yasin.
Ya, Syeikh Yasin adalah seibu dengan kakek saya, H. Basuni.
Satu rahim, dua garis hidup, dua dunia: pesantren Sunda di tanah air, dan jaringan sanad internasional di Tanah Haram.
_1754708486.jpg)
Dari kiri ke kanan: Umi Zaenab dan Umi Fatmah, adik Syeikh Muhammad Yasin - Repro -
Perempuan Rawa di Tanah Haram
Di tanah kelahirannya, keluarga besar Emuk Maimunah adalah keturunan ulama Rawa Linggawangi—silsilah yang menjaga sanad keilmuan dan kehormatan.
Di Makkah, ia menjadi figur ibu bagi para perantau dari Nusantara, terutama para penuntut ilmu.
Putranya, Syeikh Yasin, sejak kecil ditempa dalam lingkungan ilmu dan ketekunan. Ia kemudian memimpin Perguruan Darul Ulum di Makkah, tempat ratusan santri dari berbagai negeri belajar.
Hingga wafatnya pada 1990, namanya harum sebagai penjaga sanad hadis dan fiqih yang terpercaya.
Sebagai rasa ta’dzim, haul Syeikh Yasin terus digelar tiap tahun oleh murid-muridnya, terutama KH. Abdul Hamid Abdul Halim Ad-Daary, dan para alumni Darul Ulum lainnya.
Setiap haul bukan sekadar mengenang sang guru, tetapi juga mengingat doa dan pengorbanan seorang ibu—Hj. Emuk Maimunah—yang membesarkannya di Kota Suci.
Takdir yang Tertunda
Saya tahu cerita ini dari Mbu saya, Hj. Tien Rahmatin.
Pada tahun 1978, beliau dipertemukan dengan keluarga dari pernikahan kedua Hj. Emuk.
Hj. Tien dijemput bibi Aminah, dibawa ke Makkah, dan diantar menyusuri lorong-lorong jejak nenek kami.
Pertemuan itu seperti takdir yang tertunda. Pelukan yang menghapus jarak puluhan tahun.
Jauh sebelum itu, Kakek saya H. Basuni juga dalam usia sekitar 28 tahun pergi ke tanah suci, dengan tekad menemui ibunya. Di tanah suci, H. Basuni ditawarkan untuk mukim atau tinggal disana.
Tapi takdir tetap membawa H Basuni kembali ke tanah air dipersatukan kembali dengan Nenek Asmala - untuk kemudian melahirkan 7 anak, diantaranya duanya perempuan.
Bagi saya, perjalanan Hj. Emuk dari Rawa ke Tanah Haram bukan sekadar perpindahan geografis.
Itu adalah perjalanan ruhani—dari lumpur sawah yang basah ke pelataran Ka’bah yang suci.
Eyang Hj. Emuk tidak hanya meninggalkan tanah Sunda.
Ia meninggalkan jejak sejarah.
Ia bukan wanita biasa.
Ia adalah ibu dari dua dunia: dunia pesantren Indonesia dan dunia sanad Islam internasional.
Di Rawa Linggawangi, namanya dikenang dengan hormat.
Di Makkah, jejaknya tak tertulis di batu, tetapi di hati para anak dan cucu ilmu yang dibesarkan putranya.
Al Fatihah.
Penulis: Wakil Bendahara Umum IKALUIN Jakarta, Ketua DPP PJS, Cicit dari H. Basuni Abdul Jabar- kakanya Syeikh Muhammad Yasin Al Fadani.*
Pulitik Jero | 5 hari yang lalu
Warta Banten | 5 hari yang lalu
Pulitik Jero | 4 hari yang lalu
Parlemen | 4 hari yang lalu
Warta Banten | 6 hari yang lalu
Warta Banten | 6 hari yang lalu
Kaamanan | 5 hari yang lalu
Gaya Hirup | 5 hari yang lalu
Parlemen | 3 hari yang lalu