Warta Banten

Pulitik Jero

Parlemen

Hukum

Ékobis

Peristiwa

Kaamanan

Nagara

Patandang

Mancanagara

Pamenteun

Galeri

Gaya Hirup

Kabudayaan

Pendidikan

Kaséhatan

Calon Dewan

Info haji

Indeks

Universitas Bukan Sekadar Pabrik Ijazah

Oleh: Eko Supriatno
Rabu, 28 Mei 2025 | 14:47 WIB
Eko Supriatno -
Eko Supriatno -

RMBANTEN.COM - SETIAP akhir semester, aula kampus dipenuhi toga, bunga, dan air mata haru. Wisuda menjadi simbol puncak akademik dan gerbang awal menuju dunia nyata. Tapi di balik kemeriahan, terselip pertanyaan penting: apa sebenarnya misi universitas hari ini?


Apakah cukup bila universitas hanya menjadi "pabrik ijazah"—menggenjot angka kelulusan, menggulirkan sertifikat, dan mengejar akreditasi? Ataukah universitas punya amanat yang lebih besar: membentuk manusia tangguh, bermoral, dan mampu memberi makna bagi masyarakat?


Di tengah ketimpangan sosial dan meningkatnya pengangguran terdidik, universitas tak bisa lagi bersembunyi dalam menara gading. Ia harus membumi, hadir di tengah persoalan nyata, dan menjadi lokomotif perubahan. Lulusan tidak hanya dituntut untuk terampil, tapi juga untuk bermakna dan bertanggung jawab.


Ijazah memang penting, terutama bagi mereka dari keluarga sederhana. Bagi anak petani, buruh, atau nelayan, pendidikan tinggi adalah jembatan pengubah nasib. Tapi bila universitas abai memastikan daya saing lulusannya, maka ia telah mengkhianati harapan kolektif banyak keluarga.


Mandat Sosial Universitas


Universitas harus menjadi taman ilmu dan karakter, tapi lebih dari itu, ia adalah simpul mobilitas sosial. Maka keberhasilannya bukan hanya soal jumlah doktor atau jurnal terindeks, melainkan: apakah lulusannya hidup lebih baik dan mampu memberi kontribusi?


Banyak mahasiswa datang dengan bekal terbatas, tapi harapan besar. Mereka membawa mimpi orang tua dan beban psikologis untuk tidak gagal. Di sinilah universitas harus hadir sebagai mitra perjuangan, bukan sekadar penyedia ruang kuliah.


Kualitas dan Relevansi Lulusan


Dunia kerja kini menuntut lebih dari sekadar ijazah. Kemampuan berpikir kritis, adaptasi teknologi, komunikasi, dan ketangguhan karakter menjadi syarat utama. Kurikulum yang usang, metode yang teoritis, dan minimnya relasi dengan dunia industri hanya akan melahirkan lulusan bingung di tengah persaingan ketat.


Ironisnya, mahasiswa dari keluarga mampu punya cadangan sosial—jaringan, dana, akses pelatihan. Sementara yang lain hanya bergantung pada kampus. Maka saat kampus tak menyediakan pelatihan, magang berkualitas, atau pusat karier aktif, ketimpangan makin lebar. Pendidikan tinggi yang seharusnya memutus rantai kemiskinan justru bisa melanggengkan ketidakadilan.


Menata Ulang Prioritas


Universitas harus menata ulang orientasi dan ukuran keberhasilannya:


Pertama, Kurikulum kontekstual. Disusun bersama dunia profesi agar materi yang diajarkan sesuai kebutuhan nyata.


Kedua, Magang bermakna. Bukan formalitas, tetapi pengalaman kerja riil.


Ketiga, Pusat karier aktif. Bukan hanya ruang konsultasi, tapi fasilitator transisi ke dunia kerja.


Keempat, Penguatan karakter. Nilai, etika, dan tanggung jawab sosial diintegrasikan ke dalam keseharian kampus.


Kelima, Tracer study serius. Evaluasi berbasis data alumni sebagai dasar pembaruan.


Keenam, Afirmasi untuk mahasiswa rentan. Bukan belas kasihan, tapi komitmen keadilan: beasiswa hidup, pelatihan tambahan, mentoring personal.


Universitas tidak netral. Ia berdiri dalam realitas sosial. Maka tanggung jawabnya adalah menjadi jembatan peradaban, bukan sekadar mesin pemberi gelar.


Reformasi dan Keberpihakan


Pendidikan tinggi butuh keberanian untuk relevan dan kejujuran untuk berpihak. Reformasi bukan pilihan, tapi tuntutan sejarah. Universitas harus menjadi tempat di mana harapan tumbuh, dan masa depan diperjuangkan. Tempat yang mengubah nasib, bukan sekadar mencetak gelar.


Mari tinggalkan paradigma lama yang mengukur keberhasilan dari akreditasi dan seremonial. Ukur universitas dari sejauh mana ia mengubah hidup, menyalakan lentera masa depan, dan memberi makna bagi bangsa.


Jika universitas mau membumi, menyempurnakan peran, dan berjalan bersama denyut rakyat, maka ia akan menjadi ruang pembentuk masa depan yang sesungguhnya. Di situlah kemuliaan pendidikan tinggi akan menemukan maknanya.

 

Penulis: Dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten*rajamedia

Komentar:
BERITA LAINNYA
Ilustrasi - (Freepik)
Tulisan yang Diancam
Minggu, 25 Mei 2025
--
PPP, Kapan Kamu Bangkit?
Rabu, 14 Mei 2025
Presiden RI Prabowo Subianto - Repro -
Ramalan yang Ditertawakan
Minggu, 11 Mei 2025