Tarawih, Qiyamul Lail, dan Kesempatan yang Hilang

RMBANTEN.COM - RAMADAN selalu datang membawa berkah.
Masjid penuh di malam pertama. Suasana semarak. Imam membaca ayat panjang, jamaah tetap khusyuk.
Tapi, seperti biasa, semangat itu tak selalu bertahan lama.
Minggu pertama, shaf masih rapat. Minggu kedua, mulai berkurang. Minggu ketiga, tinggal separuh. Masuk sepuluh hari terakhir, hanya yang benar-benar istiqamah yang masih bertahan.
Padahal, di situlah letak keutamaan.
Tarawih Itu Istimewa
Salat tarawih bukan sekadar tradisi Ramadan. Ini adalah kesempatan.
Rasulullah SAW bersabda:
"Barang siapa mendirikan salat di malam Ramadan dengan iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari & Muslim)
Tarawih itu ringan, tapi pahalanya besar.
Hanya berdiri sebentar setiap malam. Hanya menambah sedikit dari salat biasa. Tapi balasannya? Pengampunan dosa.
Namun, banyak yang lebih memilih lelah di depan layar ponsel daripada lelah berdiri dalam salat.
Banyak yang lebih semangat berburu takjil daripada berburu pahala.
Banyak yang lebih sibuk berdebat jumlah rakaat daripada benar-benar melaksanakannya.
Lalu Ramadan berlalu begitu saja.
Qiyamul Lail: Waktu Terbaik, Doa Terbaik
Tarawih itu luar biasa. Tapi ada yang lebih istimewa: qiyamul lail.
Di sepuluh malam terakhir, ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan: Lailatul Qadar.
Kata Rasulullah SAW:
"Barang siapa yang mendirikan salat pada malam Lailatul Qadar dengan iman dan berharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari & Muslim)
Tapi mencari malam itu butuh kesungguhan.
Bukan hanya bangun untuk sahur, tapi bangun lebih awal untuk sujud lebih lama.
Bukan hanya meminta rezeki dunia, tapi juga meminta ampunan dan surga.
Tapi, seperti tarawih, semangat qiyamul lail juga sering luntur.
Banyak yang ingin mendapat Lailatul Qadar, tapi enggan bangun malam.
Banyak yang ingin surga, tapi berat untuk sujud lebih lama.
Lalu Ramadan selesai. Kesempatan itu hilang.
Belajar untuk Bangsa
Apa yang terjadi dengan ibadah kita di bulan Ramadan, mirip dengan yang terjadi pada bangsa ini.
Kita semangat di awal, tapi tidak konsisten.
Kita punya banyak kesempatan, tapi tidak semua dimanfaatkan.
Kita sering ingin perubahan, tapi tidak mau usaha lebih keras.
Bangsa ini diberi pemimpin, tapi banyak yang hanya sibuk memperkaya diri.
Diberi sumber daya, tapi banyak yang justru disalahgunakan.
Diberi amanah, tapi malah disia-siakan.
Seperti kata Bung Karno:
"Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri."
Begitulah. Korupsi masih merajalela. Kejujuran semakin langka. Ramadan mengajarkan kesederhanaan, tapi pejabat justru pamer kemewahan.
Kita sibuk berteriak anti-korupsi, tapi ketika berkuasa, ikut main curang.
Kita ingin negara maju, tapi masih malas bekerja keras.
Seperti kata Pramoedya Ananta Toer:
"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah."
Begitu juga dengan Ramadan. Kita boleh semangat di awal, tapi kalau tidak istiqamah, semuanya akan hilang begitu saja.
Ali bin Abi Thalib pernah berkata:
"Jangan sibuk mengejar dunia, sampai lupa menyiapkan akhirat."
Begitu juga dengan Ramadan. Jangan sibuk dengan rutinitasnya, sampai lupa dengan tujuannya.
Gunakan kesempatan ini. Sebelum Ramadan pergi. Sebelum kita menyesal.
Warta Banten 6 hari yang lalu

Nagara | 5 hari yang lalu
Parlemen | 6 hari yang lalu
Nagara | 5 hari yang lalu
Warta Banten | 2 hari yang lalu
Ékobis | 4 hari yang lalu
Kaamanan | 3 hari yang lalu
Warta Banten | 6 hari yang lalu
Ékobis | 5 hari yang lalu
Kaséhatan | 5 hari yang lalu