Warta Banten

Pulitik Jero

Parlemen

Hukum

Ékobis

Peristiwa

Kaamanan

Nagara

Patandang

Mancanagara

Pamenteun

Galeri

Gaya Hirup

Kabudayaan

Pendidikan

Kaséhatan

Calon Dewan

Info haji

Indeks

Mathla'ul Anwar dan Pendidikan Bangsa

Oleh: Eko Supriatno
Selasa, 05 Agustus 2025 | 19:59 WIB
Pendiri organisasi Mathla'ul Anwar KH. Mas Abdurrahm - Repro -
Pendiri organisasi Mathla'ul Anwar KH. Mas Abdurrahm - Repro -

RMBANTEN.COM - RAJAMEDIA.CO - DI UJUNG sebuah kampung, ada sebuah pesantren kecil dengan dinding kayu tua, kolam kecil yang airnya jernih, dan seorang kiai sepuh yang tersenyum bijak.
 

Kiai itu pernah berkata, "Pendidikan itu seperti air kolam: tenang, tak memilih siapa yang minum darinya, tapi memberi kehidupan." Kalimat sederhana itu, seperti bara di bawah abu, menyala pelan tapi menghangatkan hati.


Itulah esensi pendidikan yang selama 109 tahun telah dihidupkan Mathla'ul Anwar: jernih, inklusif, dan menyelamatkan.


Hari ini, ketika Indonesia berdiri di persimpangan zaman—di tengah banjir informasi, polarisasi sosial, dan tantangan globalisasi—pendidikan bukan lagi sekadar soal mengisi kepala dengan fakta. Ia tentang membentuk hati, menajamkan akhlak, dan menyiapkan jiwa untuk hidup bersama dalam harmoni.


Mathla'ul Anwar, dengan pendidikan keagamaan inklusifnya, bukan hanya institusi. Ia adalah mercusuar yang menerangi jalan menuju bangsa yang cerdas sekaligus beradab.


Pendidikan Inklusif: Jembatan Harmoni Sosial


Pendidikan keagamaan yang inklusif bukanlah jargon kosong. Ia adalah jembatan yang menjembatani perbedaan, merangkul keberagaman, dan menolak tembok-tembok eksklusivitas.


Mathla'ul Anwar, selama lebih dari seabad, telah menunjukkan bahwa agama bukan alat untuk memisahkan, melainkan pelita untuk menyatukan. 

 

Dalam kelas-kelasnya, anak-anak dari berbagai latar belajar bukan hanya tentang ayat dan dalil, tetapi tentang bagaimana hidup berdampingan dengan saling menghormati. Ini bukan soal hafalan, tapi kepekaan. Bukan soal dogma, tapi dialog.


Di era ketika media sosial sering menjadi ladang kebencian, pendidikan inklusif ala Mathla'ul Anwar adalah jawaban. Ia mengajarkan generasi muda untuk tidak terjebak dalam narasi polarisasi, tapi justru menjadi penutup luka sosial. Seperti air kolam tua itu, pendidikan ini tidak gaduh, tapi memberi kehidupan.


Akhlak: Tulang Punggung Peradaban


Akhlak adalah pagar peradaban. Tanpa akhlak, ilmu menjadi pisau tanpa pegangan, teknologi menjadi mesin tanpa rem, dan kekuasaan menjadi racun. Mathla'ul Anwar memahami ini. Lewat pendidikan keagamaannya, ia menanamkan akhlak mulia sebagai benteng melawan degradasi moral yang kini merajalela—dari hoaks yang memecah belah hingga korupsi yang menggerogoti keadilan.


Namun, akhlak bukan sekadar teori di papan tulis. Ia adalah keteladanan, seperti yang dicontohkan oleh K.H. Mas Abdurrahman dalam tradisi Mathla'ul Anwar. Guru dan ulama bukan hanya pengajar, tapi penunjuk jalan lewat perbuatan. Ing ngarso sung tulodo, kata Ki Hajar Dewantara. Di tengah krisis moral pemimpin, pendidikan yang meneladani ini adalah nafas baru bagi bangsa.


Mencerdaskan Kehidupan Bangsa: Lebih dari Akademik


"Mencerdaskan bangsa" berbeda dengan "mencerdaskan kehidupan bangsa". Yang terakhir lebih luas, lebih dalam. Ia bukan hanya soal nilai ujian atau gelar akademik, tapi soal membentuk manusia yang utuh: cerdas otak, jernih hati, dan kokoh akhlak. Mathla'ul Anwar, dengan pendekatan pendidikannya, menolak melahirkan generasi "socio idiot"—pintar secara teknis tapi cacat dalam bersosial.


Di era digital, tantangan ini semakin nyata. Generasi kita mungkin mahir membuat konten viral, tapi apakah mereka juga mahir menjaga empati? Mathla'ul Anwar menjawab dengan pendidikan yang mengasah intellectual curiosity sekaligus kejujuran, kreativitas sekaligus tanggung jawab. Ini bukan sekadar pendidikan untuk ujian, tapi pendidikan untuk kehidupan.


Menjawab Ketimpangan dengan Pendidikan


Ketimpangan ekonomi dan politik melemahkan kedaulatan rakyat. Ketika kekayaan hanya berputar di tangan segelintir orang, cita-cita keadilan sosial dalam Pancasila menjadi kosong. Mathla'ul Anwar, dengan pendidikan keagamaannya, menawarkan solusi: mencetak generasi yang kritis, peduli, dan berani melawan ketidakadilan.


Pendidikan ini bukan hanya untuk elite. Mathla'ul Anwar harus memastikan pintunya terbuka lebar bagi rakyat kecil. Seperti visi K.H. Mas Abdurrahman, pendidikan harus menjadi hak, bukan privilese. Anak-anak dari keluarga miskin bukan hanya boleh bermimpi, tapi harus diberi tangga untuk meraihnya.


Generasi 2045: Investasi Karakter untuk Indonesia Emas


Indonesia sedang menatap bonus demografi dan visi Indonesia Emas 2045. Tapi, tanpa manusia berkarakter, visi itu hanya akan jadi slogan.


Mathla'ul Anwar, dengan pendidikan karakter yang menjadi DNA-nya, sedang menabur benih untuk generasi yang tidak hanya cerdas, tapi juga berintegritas. Dari PAUD hingga jenjang menengah, pendidikan ini menanamkan kejujuran, kepekaan sosial, dan semangat kebangsaan yang inklusif.


Pendidikan karakter bukanlah pekerjaan sampingan. Ia adalah fondasi. Mathla'ul Anwar memahami ini, menyiapkan generasi yang siap bersaing di panggung global tanpa kehilangan akar lokal, berilmu tinggi tanpa melupakan adab.


Literasi Digital: Senjata di Era Infosphere


Media bisa menjadi lentera atau racun. Di era infosphere, ketika informasi mengalir deras seperti air bah, literasi digital berbasis akhlak menjadi kebutuhan mendesak. Mathla'ul Anwar mengajarkan generasi muda untuk tidak hanya melek media, tapi cerdas media—mampu memilah fakta dari hoaks, mencerahkan tanpa memprovokasi, dan membangun harmoni lewat setiap unggahan.


Ini bukan soal sekadar tahu cara mengoperasikan gadget. Ini soal tahu cara menggunakan teknologi dengan nurani. Generasi yang dihasilkan harus jadi penutur kebenaran, bukan penyebar kebencian.


Harmoni Sosial: Cita-Cita yang Menggetarkan


Pada akhirnya, Mathla'ul Anwar bukan hanya tentang mendirikan sekolah atau pesantren. Ia tentang membangun peradaban. Harmoni sosial yang menjadi tema 109 tahun perjalanannya bukanlah mimpi kosong, melainkan cita-cita yang menggetarkan. Dalam kelas-kelasnya, dalam pengajian-pengajiannya, dalam setiap interaksi gurunya, Mathla'ul Anwar menanamkan benih-benih bangsa yang adil, toleran, dan beradab.


Di tengah dunia yang kian riuh, Mathla'ul Anwar adalah kolam tua di ujung Kampung itu: sederhana, tenang, tapi memberi kehidupan. Ia mengajarkan kita bahwa pendidikan sejati tidak hanya mencerdaskan, tapi juga menyatukan. Tidak hanya mengajar, tapi juga menginspirasi. Tidak hanya membentuk individu, tapi juga membangun bangsa.


Mari kita teruskan perjuangan ini. Karena, seperti kata kiai sepuh itu, pendidikan adalah air yang tak memilih siapa yang minum darinya.


Dan Mathla'ul Anwar, dengan 109 tahun pengabdiannya, telah membuktikan bahwa air itu tetap jernih, tetap hidup, dan tetap mengalir untuk kebaikan bangsa.


Tentang Penulis: Bung Eko Supriatno adalah Dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten*rajamedia

Komentar: