Saatnya Berhenti Ribut

RMBANTEN.COM - RAMADAN. Grup WhatsApp yang biasanya sepi, tiba-tiba ramai. Yang biasanya cuma baca, mendadak jadi panitia buka bersama. Yang biasanya cuek, tiba-tiba ngajak silaturahmi.
Tahun ini berbeda. Ramadan datang di tengah suasana bangsa yang masih panas. Pemilu sudah selesai, tapi banyak yang belum selesai di hati. Masih ada yang saling sindir di media sosial. Masih ada yang malas menyapa karena beda pilihan.
Lucu.
Kita bisa debat habis-habisan soal politik. Tapi, begitu azan Magrib, semua buru-buru cari es buah. Yang tadinya panas, mendadak adem. Yang tadinya saling sindir, sekarang rebutan kurma.
Itulah Ramadan. Mau marah, susah. Mau jengkel, percuma.
Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung tali silaturahmi” (HR. Bukhari & Muslim).
Kalau benar begitu, kenapa kita masih sibuk bermusuhan?
Bung Karno dulu bilang, “Jangan sekali-kali melupakan persatuan dan kesatuan bangsa.” Tapi lihatlah sekarang. Kita gampang sekali berpisah hanya karena beda pilihan. Padahal, yang kita pilih sudah saling berjabat tangan.
Lalu kita?
Masih ribut di Twitter. Masih nyinyir di Instagram. Masih sibuk mencari siapa yang salah, bukan mencari cara untuk kembali akrab.
Padahal, di luar sana, banyak saudara kita yang sedang kesulitan.
Hujan deras beberapa pekan terakhir membuat banyak daerah terendam banjir. Ribuan rumah terendam. Banyak warga terpaksa mengungsi. Di sebagian tempat, Ramadan mereka dijalani di tenda darurat, bukan di rumah yang nyaman.
Apakah mereka masih peduli siapa yang menang pemilu? Tidak. Yang mereka pikirkan hanya satu: bagaimana bertahan di tengah musibah.
Tapi kita?
Masih sibuk berdebat. Masih saling menyalahkan. Masih sibuk ribut soal politik.
Lalu para pemimpin?
Ramadan ini seharusnya jadi cermin bagi mereka yang diberi amanah. Yang masih sibuk bicara soal kekuasaan, harusnya ingat: rakyat tidak butuh janji, rakyat butuh bukti. Yang masih sibuk saling menyalahkan, harusnya sadar: negeri ini butuh kerja nyata, bukan sekadar debat di layar kaca.
Lihatlah mereka yang terdampak banjir. Mereka tidak tanya, "Ini salah siapa?" yang mereka tanya adalah, "Bantuan kapan datang?"
Lihatlah mereka yang kesulitan ekonomi. Mereka tidak butuh pidato panjang. Mereka butuh harga-harga stabil, pekerjaan tersedia, dan pemimpin yang benar-benar hadir untuk rakyat.
Jabatan itu amanah. Pemilu itu sudah selesai. Saatnya bekerja. Saatnya membuktikan bahwa kemenangan bukan sekadar angka di kertas suara, tapi kemenangan sejati adalah ketika rakyat merasa dipimpin dengan adil.
Silaturahmi bukan cuma soal buka bersama. Bukan cuma datang, foto-foto, lalu pulang. Ramadan harusnya jadi momen menyudahi drama. Kalau presiden dan oposisi bisa duduk bareng, kenapa kita tidak?
Tarawih berjamaah. Berdiri sejajar. Tidak peduli dulu coblos siapa.
Berbagi takjil. Tidak pernah tanya penerimanya dukung siapa.
Lihatlah warga yang terkena bencana. Mereka saling membantu tanpa bertanya latar belakang. Mereka berbagi makanan, tenaga, dan doa. Karena mereka tahu, di saat seperti ini, yang dibutuhkan bukan perbedaan, tapi kebersamaan.
KH. Hasyim Asy’ari pernah bilang, “Persatuan adalah rahmat, perpecahan adalah azab.” Tapi kita sepertinya masih suka azab. Masih suka saling menjauh.
Mungkin, Ramadan ini saatnya berhenti.
Berhenti marah.
Berhenti ngotot.
Berhenti ribut.
Karena kalau Ramadan sudah lewat, bencana masih ada, rakyat masih susah, dan kita masih sibuk berdebat soal pemilu yang sudah selesai…
Lalu kapan kita mulai memperbaiki negeri ini?
Warta Banten | 5 hari yang lalu
Kaamanan | 5 hari yang lalu
Kaamanan | 5 hari yang lalu
Kaamanan | 6 hari yang lalu
Warta Banten | 4 hari yang lalu
Warta Banten | 4 hari yang lalu
Nagara | 2 hari yang lalu
Parlemen | 3 hari yang lalu
Warta Banten | 6 hari yang lalu