Merawat Pendidikan Politik Untuk Milenial dan Gen-Z
RMBanten.com - Opini, Pendidikan Politik - Merujuk pada data Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang telah ditetapkan dalam daftar pemilih tetap (DPT) tahun 2024, dari total 204.807.222 pemilih, sebanyak 66.822.389 atau 33,60 persen merupakan pemilih dari generasi milenial dan 46.800.161 atau sebanyak 22,85 persen adalah pemilih dari generasi Z.
Pemilih dari kelompok generasi milenial dan generasi Z (Gen-z) berjumlah lebih dari 113 juta pemilih atau sebanyak 56,45 persen dari total keseluruhan pemilih.
Jumlah fantastis ini merupakan tantangan tersendiri bagi demokrasi Indonesia untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas.
Mengapa demikian? Karena selain dihadapkan dengan tantangan kuantitas (postur demografi anak muda), juga ada pekerjaan rumah penting terkait bagaimana memberikan pendidikan politik yang baik bagi mereka.
Data yang dirilis Intelligence Unit (EIU), Skor Indonesia di angka 6,71 pada indeks Demokrasi 2022, dengan range index 0-10. Proses pengukuran yang ditetapkan EIU mencakup lima kategori, yakni proses pemilu dan pluarisme, kebebasan sipil, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, dan budaya politik. Dimas Rayndi (2024).
Angka ini tentu saja kurang menggembirakan. Apalagi, menjelang pemilu 2024 ini berbagai pihak memprediksi praktik-praktik buruk yang mencederai demokrasi Indonesia masih akan terus membayangi proses pesta demokrasi ini.
Rendahnya literasi politik pemilih akan memberikan dampak negatif terhadap pelaksanaan dan kualitas hasil pemilu. Praktik-praktik politik transaksional, black Campign dan praktik melanggar hukum lainnya hanya akan melahirkan lebih banyak para kandidat terpilih (baik pemilu legislatif maupun pemilu eksekutif) yang tidak memiliki integritas dan tidak berkomepeten.
Sayangnya, para pemilih yang masih jauh dari kategori cerdas dan kritis ini secara umum tersebar pada segmen pemilih millenial dan generasi Z yang jumlahnya 56,45% dari total keseluruhan pemilih. Besarnya jumlah pemilih dikalangan ini dengan segala problematikanya, tentu saja sangat mengkhawatirkan.
Selain itu, generasi ini adalah pemilih muda yang dinamis, adaptif dan responsif dan sangat akrab terhadap teknologi informasi terutama media sosial. Mereka akan sangat mudah menerima berbagai jenis informasi termasuk maraknya berita bohong, radikalisme, politisasi isu SARA, gaya hidup konsumtif, pornografi dan cyber bullying. Faktor ini pada level tertentu akan berpengaruh terhadap perilaku politik generasi ini.
Melihat fenomena ini, rasanya tak berlebihan jika Achmad Fachrudin (2019) seperti yang dikutip dari portal laman detik menyebutkan bahwa pemilih pemula memiliki beberapa kendala dan problema yang dihadapi, diantara; Pertama, persoalan administrative. Kedua, pemilih pemula masih banyak mengidap penyakit labilitas dan emosionalitas.
Ketiga, pemilih pemula sering menjadi sasaran empuk politik transaksional, atau politik uang. Keempat, pemilih pemula belum berpengalaman dalam mengikuti kegiatan Pemilu, khususnya pemberian suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Terlebih pada sejak Pemilu Serentak 2019 surat suara yang harus 'dicoblos' oleh pemilih cukup banyak, yakni 5 lembar.
Hal ini diperparah dengan absennya literasi politik pada segmen pemilih muda ini. Secara hipotetis juga dapat menyuburkan apatisme politik (sikap tak acuh, tidak peduli), bahkan hingga level sinisme terhadap politik. Aktifitas, bahkan sekedar peduli terhadap isu-isu politik dianggap sebagai sesuatu yang sia-sia belaka.
Di sisi lain lagi, para pemilih pemula dengan literasi politik yang rendah juga potensial mudah dikooptasi dan dimobilisasi oleh rezim otoriter untuk kepentingan semata-mata mempertahankan status quo kekuasaan. Pada titik serupa situasi ini, para pemilih pemula yang secara kuantitas signifikan dari pemilu ke pemilu praktis tidak akan memberi kontribusi positif terhadap penguatan dan pengembangan demokrasi. Agus Sutisna (2017:140)
Disinilah pentingnya penguatan pendidikan literasi politik sebagai usaha preventif dan edukatif untuk mengantarkan generasi muda menjadi Pemilih rasional (cerdas dan kritis) secara sederhana dapat digambarkan sebagai pemilih yang bukan saja memiliki pengetahuan dan kesadaran elektoral (kepemiluan), melainkan juga bebas dari berbagai bentuk intimidasi; memiliki daya tahan terhadap serangan atau bujukan transaksional yang tidak sehat dan melanggar aturan seperti money politics; serta memahami betul arti penting suara yang mereka miliki dan konsekuensi politik dari pilihannya di kemudian hari. Agus Sutisna (2017:136). Literasi politik yan dimaksud seperti dikemukakan Heryanto (2012) dalam Bakti (2012:109), bukanlah semata konsep normatif, melainkan bauran antara pengetahuan, skill dan sikap politik.
Optimalisasi Peran Sekolah
Untuk meningkatkan literasi politik generasi ini, peran sekolah harus lebih dioptimalkan. Karena sekolah diyakini mampu mengubah perilaku yang lebih baik bagi siswa untuk bekal menjadi warga negara yang baik di kehidupan masyarakat (Nihayah & Adi, 2014).
Dan semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat maka akan semakin tinggi kesadaran politiknya (Sastroatmodjo,1995). Dan pendidikan politik di sekolah bisa dilakukan sejak kelas X SMU/SMK/MA dengan asumsi kelas ketika kelas XII mereka sudah terdaftar menjadi pemilih pemula.
Agus Sutisna (2017:140) Dalam tulisannya secara spesifik telah menelaah problem pendidikan politik Gen-Z di sekolah dengan menawarkan konsep pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan literasi politik Generasi yang lahir diawal tahun 1995-2000-an ini.
Pembelajaran kontekstual, menurut Agus, adalah model pembelajaran yang berusaha menghubungkan materi belajar dengan situasi, konteks atau keadaan yang relevan. Untuk mengkontekstualisasikan materi belajar, secara teoritik, para pakar kontekstual sepakat, sedikitnya terdapat 7 (tujuh) komponen yang harus dilakukan (Suryanti dkk, 2008; Zainal, 2013) dalam Agus Sutisna (2017:140). Ketujuh komponen itu adalah Konstruktivisme, Inquiry, Questioning, Learning Community, Modeling, Reflection dan Authentic Assessment.
Selain itu, sekolah menawarkan beragam pilihan pembelaran dan komitmen yang berkaitan dengan tema-tema politik. Sistem kurikulum yang ada dapat dijadikan sebagai media untuk merancang pendidikan politik yang baik karena dapat menunjang proses penanaman dan pembentukan kesadaran politik pada siswa di lingkungan sekolah, misalnya mata Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan bisa menjadi pintu masuk dalam meningkatkan literasi politik Gen-Z ini.
Praktik pendidikan politik secara langsung juga dapat di berikan dalam kegiatan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Proses pemilihan ketua dan wakil OSIS bisa menjadi jembatan untuk memberikan pembelajaran politik secara langsung.
Pemilu 2024 dengan dominasi pemilih muda akan menjadi pertaruhan politik demokrasi Indonesia dan harus dilaksanakan secara elegan karena menentukan arah dan tujuan masa depan bangsa. Disatu sisi modernisasi telah menyebabkan keguncangan nilai dan norma yang sangat kuat yang bisa berdampak kepada adanya krisis moral dan etika kehidupan berbangsa dalam aspek politik, terutama pada Generasi Z.
Ini harus menjadi tanggung jawab semua pihak untuk mengantisipasi agar penyimpangan etika privat dan politik dalam bernegara dan kekacauan norma tidak terjadi dan berlarut-larut demi Indonesia yang lebih baik dimasa yang akan datang.
Penulis: Dosen STAI Nurul Hidayah Lebak Jaha, Malingping, Lebak, Banten*
Parlemen 6 hari yang lalu
Politik | 4 hari yang lalu
Hukum | 6 hari yang lalu
Keamanan | 3 hari yang lalu
Ekbis | 6 hari yang lalu
Hukum | 5 hari yang lalu
Parlemen | 5 hari yang lalu
Keamanan | 4 hari yang lalu
Nasional | 5 hari yang lalu
Politik | 6 hari yang lalu