Warta Banten

Pulitik Jero

Parlemen

Hukum

Ékobis

Peristiwa

Kaamanan

Nagara

Patandang

Mancanagara

Pamenteun

Galeri

Gaya Hirup

Kabudayaan

Pendidikan

Kaséhatan

Calon Dewan

Info haji

Indeks

Haedar Gelisah di Ulang Tahun ke-80

Oleh: H. Dede Zaki Mubarok
Rabu, 20 Agustus 2025 | 10:06 WIB
Ketua Umum PP Muhammadiyah - Haedar Nashir -
Ketua Umum PP Muhammadiyah - Haedar Nashir -

RMBANTEN.COM - HAEDAR Nashir gelisah. Padahal umurnya sudah 67 tahun. Padahal Indonesia sudah 80 tahun.


Tapi justru di usia itu, kegelisahan makin terasa.


“Indonesia ini merdeka bukan hadiah. Ia darah. Ia keringat. Ia air mata,” kira-kira begitu yang ia sampaikan dalam refleksi panjangnya.


Tapi, 80 tahun merdeka, kita seperti lupa. Kemerdekaan jadi pesta tahunan, tapi bukan ingatan. Lagu dikumandangkan, bendera dikibarkan, tapi di dalamnya kosong.


Luka Lama, Luka Baru


Kolonialisme sudah pergi. Tapi penderitaan tetap tinggal. Bedanya: dulu oleh Belanda, sekarang oleh anak bangsa sendiri.


Nama kolonialisme berubah. Jadi oligarki. Jadi korupsi. Jadi kekuasaan yang lupa diri.


Yang berkuasa merasa itu haknya. Yang punya uang merasa negara ini warisannya. Rakyat kecil? Penonton.


Haedar seperti ingin bilang: “Hei, jangan ulangi sejarah kelam! Jangan jadi pribumi model lama, yang dulu bersekongkol dengan penjajah. Jangan jadi tuan tanah baru yang rakus.”


Asta Cita dan Realita


Haedar masih memberi apresiasi pada Presiden Prabowo. Ada Asta Cita. Ada janji. Ada political will.
Tapi ia tahu: janji di atas tidak cukup. Kalau birokrasi di bawah masih cari rente, kalau elite politik masih main-main, kalau mentalitas tidak berubah, semua akan mubazir.


Ingatan yang Hilang


Kita terlalu sering memotong sejarah. Kita lupa bahwa kemerdekaan ini dulu diperjuangkan untuk semua. Bukan untuk segelintir.


Haedar mengingatkan: jangan biarkan demokrasi jadi transaksional. Jangan biarkan kapitalisme jadi rakus. Jangan biarkan rakyat hanya jadi angka statistik.


Gelisah yang Menular


Membaca Haedar, saya pun ikut gelisah.


Kalau seorang tokoh besar, cendekiawan, dan Ketua Umum Muhammadiyah masih resah, apa kabar rakyat biasa?


Tapi mungkin justru di situlah letak pentingnya. Bahwa kegelisahan itu bukan tanda kelemahan, melainkan tanda cinta.


Cinta pada negeri. Cinta pada sejarah.


Dan mungkin, kita butuh lebih banyak Haedar-Haedar baru. Yang mau gelisah. Yang mau bersuara. Yang mau mengingatkan.


Daripada ikut berpesta di atas penderitaan.


Penulis: Pimpinan Redaksi Raja Media, Wabendum IKALUIN Jakarta, Ketua DPP PJS*rajamedia

Komentar: