Sentil BNPT Mau Kontrol Masjid, Abdul Mu'ti: Pandangan Sempit, Akan Lahirkan Masalah Baru!
RMBanten.com - Jakarta - Muhammadiyah memandang wacana yang disampaikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) agar masjid dikontrol Pemerintah bukan menyelesaikan masalah, tapi justru akan menimbulkan masalah baru
Hal itu ditegaskan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, menyampaikan pandangannya terkait wacana untuk mengontrol masjid oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Rabu (6/9).
Menurut Abdu Mu'ti, upaya mengontrol masjid justru berpotensi menimbulkan masalah baru daripada menyelesaikan isu radikalisme yang sedang dihadapi.
"Kontrol Pemerintah terhadap masjid berpotensi menghasilkan formalisasi dan rezimentasi paham agama yang mungkin tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945," ujar Abdul Mu'ti mengutip dari laman muhammadiyah.or.id.
Pendekatan ini, kata Abdul Mu'ti tidak akan mengatasi akar permasalahan radikalisme yang sangat kompleks.
"Mengaitkan radikalisme hanya dengan (sudut pandang) teologi tidak relevan lagi,” tegasnya.
Dijelasakannya, bahwa akar radikalisme mencakup berbagai aspek, termasuk ketidakadilan sosial dan hukum.
"Dengan demikian, fokus hanya pada aspek agama, terutama Islam, adalah pandangan yang sempit," ujarnya.
Abdul Mu’ti juga menekankan bahwa radikalisme tidak terbatas pada agama tertentu dan dapat ditemukan dalam berbagai bidang lainnya, seperti ekonomi, budaya, dan politik. Karena itu, penyelesaian masalah radikalisme tidak bisa hanya berpusat pada kontrol agama semata.
"Melihat radikalisme hanya pada masalah agama, khususnya Islam, adalah pandangan yang bias. Radikalisme agama tidak hanya terdapat di dalam Islam tapi juga agama lainnya. Radikalisme tidak hanya terjadi dalam agama tapi dalam bidang lainnya termasuk ekonomi, kebudayaan, dan politik,” terangnya.
Abdul Mu'ti juga menyoroti penggunaan negara-negara seperti Malaysia, Arab Saudi, dan Singapura sebagai referensi untuk mengatasi radikalisme.
"Perbedaan dalam sistem politik dan tatanegara membuat referensi semacam itu tidak relevan untuk situasi Indonesia," ujarnya.
Abdul Mu’ti juga mengingatkan bahwa keberadaan radikalisme harus dijadikan sebagai bahan evaluasi bagi Pemerintah, terutama dalam program moderasi beragama.
Menurutnya, alih-alih mempromosikan sikap moderat, bahwa ada kemungkinan program tersebut malah melahirkan masalah radikalisme baru.
"Pemerintah tidak seharusnya alergi dan anti kritik. Masih adanya radikalisme harusnya menjadi bahan evaluasi bagi Pemerintah khususnya program moderasi beragama," ujarnya.
"Alih-alih membangun sikap moderat, ada gejala dimana program moderasi beragama malah melahirkan masalah radikalisme baru,” demikian tutup Guru Besar UIN Jakarata Abdul Mu'ti.
Parlemen 6 hari yang lalu
Politik | 4 hari yang lalu
Hukum | 6 hari yang lalu
Keamanan | 3 hari yang lalu
Ekbis | 6 hari yang lalu
Hukum | 5 hari yang lalu
Parlemen | 5 hari yang lalu
Nasional | 5 hari yang lalu
Keamanan | 4 hari yang lalu
Politik | 6 hari yang lalu